Istilah peripatetisme berasal dari bahasa Yunani. Kata
peripatetisme merupakan derivasi kataperipatein (berkeliling) dan peripatos
(beranda), dan isme yang berarti aliran. Dalam khazanah Yunani, kata ini
mengacu kepada suatu serambi gedung olahraga di Athena yang digunakan untuk
mengajarkan filsafat dengan berjalan-jalan dan mengelilingi murid-murid
(Amruni: 2005, 27). Kata sifat dari peripatetismeadalah peripatetik.
Peripatetisme juga berarti “ia yang berjalan berputar atau mengelilingi”. Arti
ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi
muridnya, ketika ia mengajarkan filsafat (Mulyadi: 2006, 26). Dalam
bahasa Arab, kataperipatetik dikenal dengan istilah masysya’i, berjalan
berputar.Sedangkan alirannya disebut masysya’iyah (Saifan: 2002, 32).
Dari pengertian di atas dapat dipahami, bahwa peripatetisme
merupakan sebuah aliran filsafat yang memakai metode yang digunakan oleh
Aristoteles untuk mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya secara
berjalan-jalan dan mengelilinginya. Metode ini dilakukan Aristoteles tuntu saja
untuk lebih memudahkan ia dalam mengajarkan filsafat, dan muridnya sendiri bisa
secara langsung menerimanya. Artinya, cikal bakal penggunaan istilah
peripatik pada awalnya mengacu kepada metode yang dipakai oleh Aristoteles
dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya.
Dalam filsafat Islam, aliran peripatetisme pertama kali
diperkenalkan oleh al-Farabi (Majid Fakhry: 1997, 100), dan secara
besar-besaran mencapai puncaknya secara sempurna di tangan Ibn Sina. Namundalam
perkembangan selanjutnya, aliran ini pada umumnya dipakai oleh para filosof
Islam, seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufail, yang dikenal sebagai dua
filosof Islam yang mengembangkan filsafat peripatetik dalam konteks filsafat
yang lebih luas pasca kritikan dari al-Ghazali (Oliver: 1999, 8). Bahkan
pada abad pertengahan Islam, seperti Mulla Shadra,ia banyak bergantung
pada filsafat peripatetik ibn Sina (Madjid: 1997, 145). Lebih lagi, ia
telah berhasil mempertemukan empat aliran besar dalam pemikiran Islam;
peripatetisme, iluminasionisme (isyraqiyyah), ‘irfan (gnosisme)
dan kalam/teologi (Murtadha: 2002, 74). Dengan demikiandapat dipahami,
bahwaaliran peripatetisme tidak saja dianut oleh filosof Islam di zaman klasik,
tapi juga sampai zaman pertengahan dan bahkan zaman modern.
Komentar
Posting Komentar