Filsafat Ilmu Ekonomi: Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan Epistemologis serta Membuktikan Klaim “Scientific” Ilmu Ekonomi
Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan,
sejumlah ekonom telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis
tersebut untuk menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era
Nassau Senior dan John Stuart Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel
Robbins di tahun 1930-an, terdapat konsepsi dominan di kalangan para
ekonom bahwa premis atau postulat yang di kemudian hari lebih populer
disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang sebagai sesuatu
kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam aktivitas
ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak
kelemahan terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak
selalu didukung oleh bukti empiris karena sebagaimana yang diungkapkan
oleh Mill bahwa secara abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar jika
faktor pengganggu lainnya diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor
penganggu tersebut selalu ada dan memberikan pengaruh terhadap hubungan
kausal yang terjadi. Akibatnya, konfirmasi terhadap teori ekonomi
condong pada bahwa premis tersebut benar dibandingkan dengan memeriksa
implikasi prediksi teori tersebut terhadap bukti empiris. Selanjutnya
berkembang pendekatan lain, misalnya yang dilakukan ilmuwan Jerman dan
Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad ke-20), yang
berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak selalu
mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan
generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan
yang diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan
tidak menemukan titik temu (Hausman, 2008).
Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung
implikasi prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau
kutub yang mengusung tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori
oleh Machlup (1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa
asumsi-asumsi yang mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang
terpenting adalah kemampuan dari implikasi model tersebut dalam
memprediksi kenyataan. Selama lebih dari dua dekade, pandangan Friedman
banyak mendominasi tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi.
Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun
1970-an, ketika filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam
pembahasan tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode
induksi dan memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian
tersebut memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau
bagaimana teori ekonomi dapat menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang mensyaratkan bahwa formulasi teori harus logically falsifiable dantestable, menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap sebagian besar bahkan seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan
asumsi-asumsi yang sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi
(Marchi, 1988; Caldwell, 1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya
diatasi oleh Imre Lakatos (1970) yang kemudian dikenal dengan
Lakatonian, yang memperkenalkan konsep theoretically progressive. Lakatos menekankan pada appraising historical series of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising theories.
Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan
aspek metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian.
Sekalipun demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan
penjelasan yang memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk
menyatakan klaim tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.
Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi
memunculkan sejumlah pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu
ekonomi memang tidak dapat melewati persoalan metodologis tersebut.
Pelopor pandangan ini adalah Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan
bahwa ilmu ekonomi hanya dapat menghasilkan prediksi umum yang tidak
tepat, dan tidak dapat menghasilkan perubahan. Lebih lanjut, menurut
Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai matematika terapan bukan
sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki dasar argumentatif
mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan sebagaimana yang
dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak kalangan menilai bahwa
klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi kuantitatif
cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan
para ekonom kontemporer yang dapat memprediksi harga saham lebih baik
dibandingkan dengan para ekonom di masa lalu. Pandangan radikal lainnya
yang berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre McCloskey’s (1994) yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar
metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang
relevan untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh ilmu
ekonomi adalah apa yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu
ekonomi dapat mengabaikan standar metodologis yang dikemukakan oleh para
filosof. Pandangan ini dikenal dengan istilah ekonomi retoris. Banyak
karya berharga dan berpengaruh yang dihasilkan oleh McCloskey’s dengan
pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi masalah yang dihadapi adalah
kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-argumentasi dalam studi
tersebut karena tidak memiliki standar epistemologis.
Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi adalah realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang
berkembang yaitu (1) Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki
(2007), yang mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan
metodologis dan bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2)
Pandangan realisme yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy
Bhaskar (1978) yang menyatakan bahwa seseorang yang menelusuri
kekurangan yang terdapat dalam ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan
ontologi. Menurut Lawson, fenomena ekonomi yang sebenarnya banyak
dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan seseorang dapat mencapai
pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan kecenderungan yang
berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.
Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek
kritik dari aspek sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya
dikemukakan oleh Karl Marx yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut
Marx, ekonomi klasik memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan
kebijakan ekonomi-nya sehingga akan selalu memunculkan kritik yang
takkan pernah berakhir. Pengaruh ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya
yang dihadapkan pada kesulitan metodologis dalam ilmu ekonomi telah
memunculkan pandangan untuk merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan
refleksi metodologis dari perpektif sosiologis. Pelopor pandangan ini
antara lain D. Wade Hands (2001), Hands and Mirowski (1998), Philip
Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991). Sekalipun demikian,
seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan perdebatan.
Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi adalah penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu
ekonomi, yang antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981),
dan Balzer and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah
pandangan terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam
menafsirkan dan menilai teori ekonomi. Selama tidak ada konsensus
terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, maka ketika praktisi
ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah mereka yang memiliki
memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan ekonomi dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut pandangan ini
mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih banyak
memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.
Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah
penggunaan pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi
pendekatan tersebut dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori
ekonomi dan bukti empiris. Akan tetapi, sejumlah kalangan masih
menyangsikan apakah pendekatan eksperimental dapat digeneralisasi dalam
konteks non-eksperimental, termasuk kemungkinan apakah pendekatan
eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005; Kagel and Roth, 2008).
Komentar
Posting Komentar